Perjalanan Menuju Surga di Tanah Jawa (Puncak Lawu Via Candi Cetho)

sumber : google.com
sumber : google.com

Personel : Hokya Adventure (Argo, Dhani ‘Penthol’, Yefta ‘Pakde’, Dani)

Perjalanan kali ini merupakan perjalanan super dadakan dan tidak direncanakan. Berawal ketika Pakde mengunggah foto lansekap pegunungan di akun instagramnya pada hari Kamis,14 April lalu yang kemudian saya komen, “ayok naek gunung deee”. Dan seketika Penthol menimpali sekaligus mengajak untuk mendaki Gunung Lawu pada hari Sabtunya. Tanpa pikir panjang dan dengan fakta empiris bahwa acara yang direncanakan jauh-jauh hari biasanya malah gagal terealisasi, kami pun sepakat untuk melakukan pendakian pada Sabtu, 16 April 2016.

Waktu itu posisi saya sedang ada di Bintaro, sedangkan Pakde di Jogja, Dani di Surabaya dan Penthol berada di Solo. Saya langsung berupaya mencari akomodasi menuju Solo yang merupakan meeting poin karena kami berencana naik melalui jalur Candi Cetho yang berada di Karanganyar. Ternyata tiket kereta api sudah habis dan terpaksa sayapun memilih bus sebagai sarana menuju ke Solo. Bus berangkat dari Bintaro pada hari Jumat dan saya asumsikan akan tiba di Solo pada hari Sabtu setelah subuh. Namun tak dinyana tak diduga bus yang saya tumpangi tiba di Solo jam 2 pagi. Terpaksa saya numpang tidur di Terminal Tirtonadi sembari menunggu jemputan Penthol *sayup-sayup terdengar lagu Terminal Tironadi-nya Didi Kempot.

Sabtu, sekitar pukul 10 WIB semua personel telah berkumpul. Setelah berbelanja logistik dan beberapa keperluan, kamipun siyap berangkat menuju Candi Cetho. Perjalanan dari Solo ke Candi Cetho memerlukan waktu sekitar 3 jam. Di sepanjang jalan kami berjumpa dengan beberapa rombongan yang siyap mendaki (terlihat dari keril besar yang mereka bawa). Mendekati Candhi Cetho jalan mulai menanjak dan kami disuguhi hamparan kebun teh yang sungguh memanjakan mata. Sempat juga motor tidak kuat mengarungi jalan yang cukup terjal sehingga terpaksa saya turun dan berjalan kaki, yah itung-itung sebagai pemanasan.

mengistirahatkan mesin dan pantat di perkebunan karet PTPN
mengistirahatkan mesin dan pantat di perkebunan karet PTPN

Sepeda motor kami titipkan di rumah salah satu warga bernama Pak Sugiyono yang ternyata beliau merupakan dewan adat setempat. Kami dijamu dan diberi wejangan untuk menjaga tingkah laku selama berada di gunung. Suasana lingkungan Candi Cetho sendiri mengingatkan pada perkampungan di Bali yang didominasi oleh masyarakat Hindu. Setelah menunaikan ibadah, kami langsung menuju pos retribusi yang berada di samping komplek candi. Harga tiket untuk mendaki adalah Rp. 10.000/ orang. Dan pendakian pun dimulai pada pukul 14 WIB.

Hokya Adventure di pos retribusi
Hokya Adventure di pos retribusi

Rute awal adalah jalan setapak yang membelah kebun sayur milik warga. Kami juga sempat melewati Candi Kethek. Beberapa wisatawan tampak asik bercengkerama dan berfoto di komplek candi. Sekitar satu jam perjalanan dari pos retribusi, kami sampai di Pos I (Mbah Branthi – 1600 mdpl) yang berupa gubuk terbuat dari terpal, kami memutuskan untuk beristirahat sembari membuka bekal.

ambegan sik dab!!!
ambegan sik dab!!!

 

Pos I
Pos I

Kamipun melanjutkan perjalanan. Kebun sayur dan rerumputkan digantikan oleh pepohonan dan semak belukar. Trek berupa jalan setapak tanah liat yang ketika hujan menjadi saluran air. Karena masih sering terjadi hujan tanah menjadi agak becek. Hal ini menjadikan trek menjadi licin dan cukup menyusahkan kami. Beberapa kali saya sempat terpeleset. Jalur yang cukup terjal juga menguras energi sehingga kami terpaksa beristirahat sejenak dibeberapa spot. Sekitar 1 jam dari pos I, kamipun sampai di Pos II yang diberi nama Brak Seng (2000 mdpl). Seperti halnya Pos I, Brak Seng juga berupa gubuk terpal namun berada di tengah rimbunnya hutan. Gubuk tersebut berada tepat di bawah pohon besar. Suasana di sini cukup mistis namun menenangkan. Riuh suara burung terdengar dikejauhan, di antara rimbunnya pepohonan yang syahdu ketika kami beristirahat di tempat ini.

Pos II - Brak Seng
Pos II – Brak Seng

 

Dibawah pohon besar
Dibawah pohon besar

Karena kami berencana sampai puncak sesegera mungkin, kamipun melanjutkan perjalanan. Kondisi jalan masih identik dengan trek sebelumnya namun lebih terjal. Kami semakin sering beristirahat untuk mengimbangi raga yang sudah tidak lagi muda. Di tengah perjalanan langit berubah kelabu dan hujan pun mulai turun, segera kami kenakan jas hujan. Setelah 1 jam bejalan dengan sisa-sisa energi dari nasi bungkus yang kami makan di Pos I, kamipun sampai di Pos III (Cemoro Dowo – 2250 mdpl)). Hujan masih turun dengan lebat ketika kami sampai di sini. Ada 2 rombongan lain yang juga berteduh di Cemoro Dowo. Karena hari sudah gelap (sekitar pukul 17.30 WIB), kami dan satu rombongan dari Madiun memutuskan untuk mendirikan tenda sementara satu rombongan lain melanjutkan perjalanan. Dua buah tenda berhasil didirkan dengan bergotong royong walaupun lahan yang tersedia tidak terlalu luas. Dan ketika hujan sepenuhnya reda, yang tersisa adalah senja yang menawan.

Pos III - Cemoro Dowo
Numpang berteduh di Pos III – Cemoro Dowo

Tenda sudah berdiri kapten!
Tenda sudah berdiri kapten!

 

Senja menggelora
Senja menggelora

Kami melewatkan malam dengan bercanda dan menceritakan pengalaman perjalanan dengan rombongan yang baru kami temui sembari menyiapkan makan malam. Kamipun beranjak ke dalam tenda untuk beristirahat. Saya merasa udara tidak terlalu dingin pada mulanya. Namun ketika tengah malam tiba, rasa dingin mulai menyusup melalui kaki menuju ubun-ubun. Saya terpaksa mengalah pada keadaan dan meringkuk dalam kehangatan sleepingbag. Terbangun di pagi hari kami disambut oleh pagi yang cerah. Tampak di kejauhan Gunung Merbabu mengintip melalui celah-celah pohon. Selesai sarapan kami melanjutkan perjalanan (Minggu, sekitar pukul 7.30 WIB).

Merbabu mengintip
Merbabu mengintip

Perjalanan menuju Pos IV  tidak terlalu melelahkan. Kanan kiri jalan didominasi oleh pohon cemara. Sekitar 1 jam kami sampai di Pos IV (Penggik – 2500 mdpl). Kami tidak terlalu lama beristirahat di Pos IV. Trek selanjutnya sungguh menyenangkan. Jalan tidak terlalu terjal (bahkan banyak trek landai) dan tampak bunga edelweiss di sepanjang jalur.

Menuju Pos V
Menuju Pos V
Menyisir takdir
Menyisir takdir

 

Edelweiss di tepi jalan
Edelweiss di tepi jalan

Langit cerah menemani kami sepanjang perjalanan, hingga akhirnya kami sampai di savana yang legendaris itu. Kami menghabiskan waktu cukup lama di Savana ini, bukan untuk beristirahat tapi lebih ke berfoto-foto mengabadikan panorama alam yang aduhai. Perpaduan hamparan rumput hijau yang dikelilingi pegunungan dan pohon pinus, ditambah latar awan putih berarak diantara birunya langit menghasilkan momen yang memaksa bibir kita untuk tersenyum penuh syukur kepada sang Maha Pencipta dan Pemelihara semesta.

Savanah
Savanah

Setelah puas berfoto, kami bergegas menuju Pos V (Bulak Peperangan -2800 mdpl). Bulak Peperangan sendiri konon merupakan medan pertempuran antara pasukan Majapahit yang dipimpin oleh Brawijaya V melawan pasukan kerajaan Demak yang dipimpin Raden Patah. Bayangkan mereka telah mendaki gunung terjal dan masih harus bertempur di tempat ini. Pos V dapat dicapai setelah menempuh 1,5 jam perjalanan dari Pos 4. Di Pos ini tidak ada gubuk seperti pos-pos sebelumnya, hanya berupa tanda diantara pohon pinus yang meneduhkan. Setapak landai dan lansekap maha indah membuat perjalanan terasa menggairahkan.

Pos V - Bulak Peperangan
Pos V – Bulak Peperangan

Tidak jauh dari Pos V terdapat sumber air yang bernama Gupakan Menjangan. Sekedar tambahan informasi, Gupakan Menjangan ini hanya terisi air ketika musim penghujan saja. Kami beristirahat dan mengisi botol-botol air yang mulai kosong.

Mengisi air
Mengisi air

Kabut mulai turun ketika kami melanjutkan perjalanan. Keheningan mistis terasa kembali ketika kami berjalan menyibak tebalnya kabut. Sekitar 1 jam perjalanan kami sampai di Pasar Dieng. Pasar Dieng berupa dataran yang cukup yang dipenuhi bebatuan dan tanaman (entahlah saya tidak tahu namanya). Pasar Dieng juga menjadi penanda bahwa puncak sudah dekat. Tampak di kejauhan bangunan-bangunan yang berada di komplek Hargo Dalem yang juga menjadi tempat sakral untuk bertapa.

Silent Hill
Silent Hill

Sekitar 15 menit dari Pasar Dieng, kamipun sampai di Hargo Dalem dan langsung menuju kediaman Mbok Yem yang legendaris. Mbok Yem merupakan salah satu penghuni puncak Gunung Lawu yang kabarnya hanya turun gunung 3 kali dalam setahun. Di kediamannya, Mbok Yem menyediakan shelter dan makanan bagi para pendaki. Salah satu sajian yang menjadi ikon dari warung Mbok Yem ini adalah Sego Pecel (Nasi Pecel), yang terasa begitu nikmat apalagi setelah menempuh perjalanan panjang dan melelahkan.

Pasar Dieng
Pasar Dieng

 

Selamat datang di Mbok Yem!!
Selamat datang di Mbok Yem!!

 

Mbok Yem - Menanti nasi
Mbok Yem – Menanti nasi

Setelah beristirahat cukup lama di Pondok Mbok Yem, kami memutuskan untuk summit attack dan menikmati sunset dari Puncak Lawu. Kami menitipkan sebagian besar barang dan hanya membawa air minum serta jas hujan. Ditengah perjalanan, mendung mulai berkumpul di atas kepala, kami segera bergegas menuju puncak. Kondisi jalur mirip dengan Pasar Dieng yang penuh batu dan vegetasi. Setelah 30 menit mendaki, kamipun sampai di Puncak Hargo Dumilah.

Hargo Dumilah (3265 mdpl)
Hargo Dumilah (3265 mdpl)

 

see you on top!!
see you on top!!

Sayangnya kami tidak bisa berlama-lama di Hargo Dumilah karena hujan terlanjur mengguyur puncak lawu tanpa ampun. Kami bergegas turun seketika itu juga. Tiba di bawah, Pondok Mbok Yem sudah ramai oleh pendaki yang hendak bermalam. Pondok Mbok Yem cukup luas sehingga kami tidak perlu mendirikan tenda untuk bermalam di Puncak. Kami ngobrol dengan beberapa rombongan sembari menikmati hangatnya teh buatan Mbok Yem. Bermalam di Puncak terasa lebih dingin daripada malam sebelumnya di Pos III. Bahkan kaos kaki dan sleepingbag tidak mampu membendung tusukan hawa dingin Gunung Lawu. Saya tidak dapat tidur dengan nyenyak.

Pagi hari terbangun oleh alarm, dan sesuai rencana kami akan menikmati fajar dari depan Pondok Mbok Yem. Beruntung langit cukup cerah walau di timur jauh nampak berarak-arak mendung sisa hujan kemarin. Perlahan semburat kemerahan matahari terbit nampak di kejauhan. Saya bergegas mengabadikan detik-detik lahirnya hari baru.

Sunrise di tanah surgawi
Sunrise di tanah surgawi

Matahari sudah cukup tinggi ketika kami menuju Sendang Drajat yang berada sekitar 10 menit dari Kediaman Mbok Yem. Jalan setapak landai yang diapit oleh bukit dan jurang kami telusuri untuk mencapai Sendang Drajat. Rumput-rumput basah dan dandelion yang diselimuti embun terasa begitu menyegarkan dan mengalihkan rasa lelah. Sesekali kicauan dan kepakan jalak lawu mengiringi perjalanan kami. Sisa-sisa kebakaran yang terjadi tahun lalu memang masih nampak. Namun tunas-tunas baru menunjukkan semangat Lawu untuk tetap hidup, ibarat pepatah ‘yang patah tumbuh berganti’. Sendang Drajat merupakan mata air yang disakralkan oleh masyarakat. Konon jika kita melemparkan koin ke dalam sendang, maka keinginan kita akan terpenuhi. Oleh karena mitos tersebut, di dasar sendang terdapat tumpukan koin yang dilemparkan oleh para pengunjung. Di dekat sendang juga terdapat pondokan untuk singgah para pendaki yang berangkat melalui jalur Cemoro Kandang.

setapak menuju Sendang Drajat
setapak menuju Sendang Drajat

 

Sendang Drajat
Sendang Drajat

Setelah sarapan (tentu saja Sego Pecel Mbok Yem), kami bergegas packing dan langsung meluncur turun. Perjalanan turun gunung memang memerlukan waktu yang lebih cepat daripada mendaki, tetapi sangat-sangat melelahkan terutama untuk sendi-sendi tua seperti saya. Perjalanan turun sampai Candi Cetho memerlukan waktu sekitar 4 jam dan Alhamdulillah kami dapat melewati perjalanan dengan selamat.

Demikianlah laporan perjalanan kali ini. See you on top!!!

Lawu Candi Cetho

Seperti yang telah dijanjikan oleh gunung kepada setiap hati para pendaki.
‘Aku senantiasa menunggumu disini.’

Tambahan info:

-Disarankan untuk menggunakan kartu Telkomsel karena provider lain sinyalnya jelek/tidak ada sinyal sama sekali

-No.Telp yang bisa dihubungi : Pos Registrasi Cetho (0852-0076-0666) dan Pak Sugiyono (0852-2902-9111)

Written by Arga Purna Putra

Seorang yang percaya bahwa substansi manusia dibentuk oleh pengalaman empiris. Dan pengalaman empiris dapat diperoleh dari jalan-jalan. Jadi mari kita berjalan-jalan

11 thoughts on “Perjalanan Menuju Surga di Tanah Jawa (Puncak Lawu Via Candi Cetho)

  1. Mau tanya donk gan, memang pendakian kegunung lawu tidak blh menggunakan atribut yg berwarna hijau seperti tas cariel, jaket, baju dll.

  2. akhir bulan ini ada yg rencana mo ke lawu gak sobat2? log ada pingin ikut bareng ne sb saya sendirian n dari solo? 082138707827, agung

  3. Anonymous, kepercayaan sebagian besar warga di kaki Gn Lawu dan bahkan pihak ranger Gn Lawu memang gitu. Yg termasuk warna2 yg dianggap tabu u/ dipake itu warna ijo terang, ijo stabilo, motif papan catur, coklat tua ama beberapa lg yg gw lupa. Balik lg ke kita nya, apakah mau percaya atau gak.
    Bro Agung, tgl 30 Sept – 3 Okt gw akan ke Lawu, sama gerombolan Kedai Senyum Jakarta, via Cemoro Kandang. Mungkin bisa merapat langsung. Tapi pengalaman kalo Suroan mah Gn Lawu pasti rame, Bro.

  4. Cari barengan buat tnggal 14 oktober via candi cetho 589B9E4D nih pin ane,
    Salam lestari

  5. rencana berangkat dari gresik, jawatimur
    hari kamis, tgl 6 okt..

    mau bareng?.

  6. Sekedar tambahan. Kmarn ane naik ke lawu. Dadakan juga. Alhmdlilh lancr. Dan ANONYMOUS prlgkapan ane jstru warna hjau. Dr keril. Baju. Dan kmeja. Tapi ga dprmasalahin sma rengerny

  7. Lg cari berita Alvi pemuda yg hilang tgl 1 Januari 2019 di gunung lawu, eh.. gw kegiring ke blog ini.
    Keren postingannya!

Leave a Reply to agung Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *