Halo sobat, ada sebuah pengalaman yang tidak terlupakan saat saya lagi seneng-senengnya naik-naik kepuncak gunung. Sebuah pengalaman berharga bagi diri saya dan pelajaran hidup dari suatu tempat jauh di timur Indonesia, di Pulau Ternate, sebuah pulau yang merupakan lereng sebuah gunung bernama Gamalama. Ketika itu 15-16 September 2012.
Persiapan segera saya lakukan ketika sudah memantapkan diri akan mendaki Gunung Gamalama (1715mdpl). Yang pertama saya lakukan adalah mencari info tentang Kota Ternate, Gunung Gamalama dan mencari rute pendakiannya. Ternyata sob, ada kesulitan untuk menemukan informasi rute pendakian yang lengkap, karena info yang ada dari sumber internet masih sangat minim dan hanya berupat petunjuk tentang info Gunung Gamalama secara umum saja. Beruntunglah akhirnya saya menemukan catper Gunung Gamalama satu-satunya di forum kaskus, akhirnya saya coba tracking siapa yang bikin catper, diketahui posisi orangnya berada di Bandung. Untung saja sob di profil doski saya dapat nomer Hp, yang diketahui si empu catper bernama Kang Riki. Kebetulan sekali setelah beberapa kali sms yang intinya menayakan jalur Gamalama ternyata Kang Riki sedang dalam perjalanan dari Bandung menuju Jakarta untuk mengurus Visa di Kedubes Jepang yang ceritanya itu sob, doski ternyata mau mendaki Gunung Fuji di Jepang. Eh ternyata Kang Riki ramah dan mau meluangkan waktu untuk kopi darat ngobrol-ngobrol dengan saya sob, syukurlah. Singkat cerita sepulang kantor saya langsung menuju Terminal Senen untuk menemui doski dan akhirnya kami ngobrol banyak tentang gunung dan segala macam, tak lupa juga sharing-sharing pengalaman dari Kang Riki yang merupakan pendaki yang sudah banyak makan asam garam di gunung. Lama ngobrol dengan doski yang akhirnya tempat nongkrong pindah ke Monas ini akhirnya saya tahu bahwa Kang Riki adalah salah satu pemenang Djarum Super Adventure Blog Competition. Sekitar pukul 20.30 WIB akhirnya kami berpisah. Saya antar Kang Riki ke terminal Senen untuk melanjutkan perjalanan menuju Purwakarta. Lega sob, karena bisa ketemu langsung dengan seseorang yang pernah mendaki Gamalama, paling tidak lebih familiar dengan medan.
Saat Pendakian (Aroma Cengkeh dan Pala Sepanjang Jalan)
Pesawat menuju Ternate dimulai dini hari, harus boarding di SHIA pukul 5.20 wib membuat saya bangun pagi sekali sob, ngantuk sangat. Tiba di bandara seperti biasa semua barang masuk pemeriksaan X-Ray, dan ransel saya setelah keluar dari mesin X-Ray segera diamankan oleh petugas bandara. Kaget sob, tapi benar perkiraan saya bahwa bahan bakar gas yang saya bawa tidak boleh masuk pesawat walaupun itu melalui security procedure bandara. Sempat terjadi tawar menawar untuk diloloskan security procedure bandara, tapi hasil akhirnya mentah jua sob. Akhirnya terpaksa saya relakan saja gas itu, walaupun saya juga ga bawa paraffin. Sob, sebenernya beres kalo saya bisa bikin api unggun, tapi kebanyakan ada larangan untuk membuat api unggun di gunung karena bisa tidak terkendali. Akan tetapi rejeki anak sholeh tidak kemana, setiba ada konfirmasi bahwa gas bisa didapatkan dengan mudah di Ternate saya menjadi lega, karena saya kira di Ternate akan susah mendapatkan gas sepeti itu (maaf, saya terlalu memandang remeh Ternate). Singkat cerita setelah penerbangan yang melelahkan karena jarak yang cukup jauh, tibalah juga pesawat di bandara Sultan Baabullah ini setelah sebelumnya sempat transit di bandara Sam Ratulangi, Manado. Sekitar pukul 1 WIT tibalah saya di pusat kota Ternate. Disini ada sedikit waktu untuk beristirahat sebelum melanjutkan langkah pendakian yang rencananya akan dimulai hari ini juga.
Selanjutnya saya kontak Kang Riki untuk bertemu setelah sebelumnya janjian dengan Kang Riki yang terbang terlebih dahulu dari Jakarta ketemu di Ternate, rencananya kang Riki dari Ternate akan melanjutkan perjalanannya dengan boat menuju Pulau Obi tempat dia bekerja. Kang Riki memperkenalkan temannya seorang Mapala Universitas Khariun bernama Badi. Akhirnya bersama Kang Riki dan Badi, saya menemui anak mapala lain yang akan menemani dalam pendakian Gunung Gamalama nantinya. Mereka berdua bernama Mato dan Opik mahasiswa Universitas Khairun asal Tidore.
Selesai ngobrol sebentar Saya, Mato dan Opik pamit untuk segera menuju pos masuk gamalama yang terletak di desa Moya (+/- 200 mdpl). Setelah packing ulang dan cek persiapan yang akan dibawa, mulailah kami menjejaki lereng Gunung Gamalama sekitar pukul 4 WIT. Kata Kang Riki ini adalah rute terlandai untuk mencapai puncak gamalama tapi ternyata rute ini cukup terjal. Ditambah rute ini rusak akibat letusan bulan Januari dan Mei 2012 ini. Pepohonan cengkeh dan pala menghiasi jalan di kanan kiri rute pendakian dan menyebarkan bau yang khas sekali sob. Ternate memang telah dikenal sejak jaman dahulu oleh penjajahan sebagi pulau penghasil rempah-rempah terutama pala dan cengkeh, sehingga jaman Portugis dan Belanda dulu pulau ini sempat menjadi rebutan para penjajah.
Selama perjalanan pendakian, ternyata bekas letusan yang lalu pun masih banyak yang merintangi jalur pendakian sob, banyak batang pohon yang tumbang dan melintang patah terserak sepanjang jalur pendakian sehingga menambah handicap jalur ini. Rute pendakian yang paling landai ini pun menurut saya masih cukup berat sehingga membuat saya ngos-ngosan dan sering beristirahat disepanjang jalan. Setiap beristirahat, kita disuguhkan pemandangan Kota Ternate, Pulau Maitara dan Gunung Tidore dikejauhan (mirip dengan gambar di uang kertas 1000 rupiah sob,hehehe) serta hamparan laut yang biru sekali. Paduan yang jarang terlihat di kebanyakan gunung-gunung di Pulau Jawa yang tidak memiliki pemandangan berupa laut.
Perjalanan menuju pos satu masih sangat lama, rasa penasaran timbul karena jika saja pos satunya masih jauh bagaimana dengan pos 2 dan pos 3nya, coba sobat bayangin? Rupanya saya sudah terlalu mengentengkan Gunung satu ini. Pelan kaki tetap melangkah, tak kan surut tekat yang sudah tertanam ini. Sekitar jam 5.30 WIT tibalah kami bertiga di Pos 1. Setelah meletakkan ransel keluarlah asap dari punggung dan bagian belakang tubuh yang terbang seperti asap dari batu es yang dikeluarkan dari freezer. Keluarlah sebuah coklat dari dalam ransel dan memakannya bersama Mato dan Opik sebagai tambahan tenaga. Disini kami berbincang banyak tentang gunung-gunung di Maluku Utara dan obyek wisata lain yang potensial di daerah ini.
Beristirahat agak lama, akhirnya kami memulai perjalanan lagi, rute semakin keatas dan menanjak terus jarang sekali ketemu bonus sepanjang jalur pendakian ini. Kami berjalan santai saja sambil sesekali beristirahat dan ngobrol tentang banyak hal hingga adzan magrib dari kampung terdengar dari tempat kami, semakin malam dan gelap, kami putuskan tetap saja berjalan pelan karena bagaimanapun juga gelap telah datang bersama kami dan toh akan sampai malam hari, kita pasti terkurung malam. Kami terus berjalan dan beristirahat sesekali akhirnya sekitar pukul 20.30 WIT kami sampai di pos yg agak lapang dan datar. Pos ini dinamakan terminal, yang menjadi basecamp dan mendirikan tenda para pendaki jika kondisi di puncak diterpa angin kencang yang bias membuat patah frame-frame tenda. Dari pos ini puncak Gamalama tinggal sebentar lagi dan sudah sedikit terlihat.
Gamalama Erupsi (kejadian yang tidak pernah kami harapkan)
Dalam pekat malam, kami berbincang sebelum melanjutkan perjalanan yang tinggal sedkit lagi. Kata Mato sekitar 30 menit lagi dari sini kita sudah sampai di puncak. Akhirnya karena sudah dekat, semangat yg mulai kendur karena lelah menjadi bangkit lagi. Kami berjalan terus, melewati Air Abdas yg dikeramatkan oleh penduduk Ternate. Lalu terus memanjat. Sampai akhirnya puncak sudah terlihat. Tersenyum saya karena sebentar lagi akan tiba di puncak. Saya dan Opik beristirahat sambil menunggu Mato yang berjalan di akhir. Kata Opik, ini istirahat terakhir sebelum sampai di puncak, semakin gegap gempita saja hati saya sob, suweer deh. Tak lama setelah Mato tiba dan bergabung, tiba-tiba terdengar gemuruh dan tak lama setelah itu dari atas terdapat lampu senter menyala-nyala yang disusul teriakan ramai sekali para pendaki yang berlari menuruni gunung. Mato sempat menerima SMS dari seorang teman yang mengatakan bahwa sebaiknya turun saja karena Gamalama mengeluarkan asap dan debu hitam. Ternyata Gamalama erupsi, Para pendaki yg sudah dahulu mencapai puncak berlari meninggalkan tenda dan semua perbekalan mereka yang masih tertinggal. Menghadapi situasi ini akhirnya kami putuskan untuk turun menuju pos terminal terlebih dahulu, dengan pertimbangan jika stabil kami teruskan pendakian. Saya masih tidak percaya kalau Gamalama erupsi dan saya sedang di lerengnya sob, waduh.
Tak berapa lama kami sampai juga di terminal dalam keadaan sedikit panik, saya masih tidak percaya dengan kejadian barusan sob. Opik segera mengeluarkan kompor dan memanaskan air. Tak lama setelah kami menghela nafas, rombongan pertama yg turun dari puncak pun tiba dalam keadaan panik dan ngos-ngosan, meninggalkan tenda dan segala macam perbekalan mereka, sebagian dari mereka juga tak memakai alas kaki. Seorang bule dalam rombongan juga tiba hanya dengan tas kecilnya, dan dia berkata kalau paspornya masih ketinggalan diatas. Di sini setelah semua berkumpul kami melakukan perbincangan panjang yang melibatkan semuanya, memastikan semua kawan dalam rombongan tidak ada yg ketinggalan dan akhirnya diketahui terdapat 27 pendaki disini.
Sementara sebagian masih bercerita perasaanya saat letusan terjadi, sebagian yang lain masih melihat awan hitam yang mengepul diatas, hujan abu dan bau sulfur berangsur-angsur turun sampai di tempat kami berkumpul. Akhirnya kami berdiskusi tentang langkah sebaiknya diambil antara menunggu disini untuk memastikan kondisi lebih lanjut atau mengevakuasi semua pendaki untuk turun karena takut adanya gas beracun yang bisa saja terjadi, selama kami berdiskusi hujan abu semakin deras dan bau belerang semakin menyengat. Akhirnya setelah banyak perdebatan diputuskan bahwa malam ini kita turun kebawah. habis sudah sob, perasaan kecewa dalam hati saya karena belum sempat melihat sunrise dari puncak Gamalama. Dengan perasaan kecewa akhirnya kami turun melalui rute Marikrubuh yang sedikit lebih curam tapi tidak terdapat lintasan jurang menganga yang penuh resiko apabila terjadi kepanikan.
Ternyata perjalanan evakuasi dari Gamalama ini juga tidak selancar apa yang ada dalam pikiran kami sob. Sebenernya dikarenakan rute Marikrubuh yang curam ini sebenernya telah ditutup saat gamalama meletus terakhir sebelum letusan kemarin dikarenakan rute dan jalur yang ada rusak berat. Di sekitar jalur banyak terdapat pohon-pohon yang patah, kering dan mati dikarenakan terjangan abu panas pada letusan sebelumnya. Jarak antar orang dalam rombongan cukup jauh dikarenakan kondisi fisik dan psikis rombongan yang tidak prima begitu juga dengan alas kaki yang seadanya. Rombongan depan berkali-kali break menunggu anggota yang tertinggal dibelakang. Evakuasi berjalan semakin lambat ketika ada beberapa orang yang cidera dikarenakan keseleo, kram, encok dll. Kondisi yang semakin lelah dan bekal yang tersisa semakin menipis membuat banyak dari kami yang kelelahan, untunglah datang tim evakuasi dari bawah yang membawakan minuman dan coklat untuk memulihkan tenaga. Akhirnya sob, setelah sekian lama, kami dapat keluar dari hutan dan sudah memasuki daerah yang dijamah warga. Memutuskan untuk beristirahat lagi disini karena memang kondisi perorangan yang sudah cukup lemas. Sementara hujan abu sudah tidak nampak, namun masalah lain datang karena hujan turun begitu deras dan anggota banyak yang tidak memakai alas kaki lengkap. Bagi saya dan kawan-kawan yang memakai sepatu gunung sebenernya perjalanan tidak terlalu terganggu akan tetapi bagi sebagian pendaki yang lain, medan menjadi sulit sekali dan banyak yang jatuh, terpeleset, keseleo dan terjerembab di tanah. Seorang anggota berkali-kali terpeleset dan terjatuh, akhirnya saya gandeng bapak itu yang nampak kesakitan sekali. Saya gandeng dia selama sisa perjalanan dan setiap dia mau terpeleset saya tahan dan angkat dia. Sepertinya sepatunya yang digunakan licin sekali. Sementara itu hujan tetap turun dengan lebatnya dan belum akan berhenti. Agak lama berjalan dengan menggandeng bapak tadi konsentrasi saya sudah mengendur, beberapa kali saya terpeleset juga, walaupun posisi tetep aman. Akhirnya tim dari bawah yang lain menyusul keatas membantu para pendaki yang kesulitan dibelakang. Lama kami berjalan sampailah kami di desa terdekat, desa Marikrubuh sekitar pukul 3.25 WIT dini hari.
Di poskamling di desa tersebut sudah berkumpul sebagian tim dari BNPB dan anggota Mapala Universita Khairun. Air dan roti kecil tersedia cukup untuk mengganjal perut kami. Saya beristirahat di bak mobil rescue BNPB yang berwana kuning itu sembari menunggu evakuasi sisa rombongan selesai. Saya yang sudah 24jam terakhir belum tidur akhirnya memaksa merebahkan diri di dalam bak mobil BNPB yg terparkir. Lelah sekali sob rasanya ketika kaki ini saya sandarkan di sisi mobil dan mulai tertidur. Tak begitu lama, saya terbangun ketika mobil banyak bergoyang yang rupanya evakuasi sudah selesai dengan dapat diselamatkannya 27 orang pendaki Gunung Gamalama. Selanjutnya kami diantar ke rumah salah seorang dosen Universitas Khairun yang berinisiatif memasakkan makanan bagi para pendaki . Di rumah dosen ini saya mandi dan berganti pakaian sob, yang hanya tinggal poloshirt dan celana pendek dan akhirnya menjadi setelan saya hingga tiba di Jakarta lagi.
Setelah mengisi perut dan beristirahat sejenak sambil berbincang akhirnya saya mendapat tawaran untuk lanjut beristirahat di basecamp Mapala Universitas Khairun. Tanpa babibu karena tubuh yang lelah saya terima tawaran tersebut sembari menunggu jadwal pesawat untuk kembali ke Jakarta siang hari itu juga. Akhirnya saya tertidur pulas sampai jam 9.30 WIT karena memang terasa sangat lelah dan ngantuk sekali.
Ending (ada nilai di setiap peristiwa)
Usai sudah pertemuan saya dengan Gamalama. Walaupun tak bertemu dengan puncaknya, namun saya yakin saya telah mendapat banyak pengalaman dan kenangan yang menarik selama pendakian ini sob. Ketika seseorang dulu pernah bertanya “Apa sih arti puncak dari semua gunung yang pernah loe daki?” Ada yang berujar bahwa “Puncak gunung itu adalah sebuah kebanggan, namun bukan tujuan sebenarnya dari sebuah pendakian.” Sebagian yang lain pun ada yang berujar “Puncak itu hanya bonus, tapi isinya keseluruhan apa yang lo dapet dari naik sampai turun lagi sih sob.” Sebenernya yang lo dapet dari pendakian itu adalah nilai apa yg loe rasain, di gununglah manusia akan terlihat sifat asli mereka setelah ditempa dalam kelelahan fisik dan mental. Disini bukan alam yang dikalahkan, tapi ego dari diri kita sendiri. Ada seorang terkenal yang pernah berujar “Puncak gunung memang memberikan inspirasi, tapi lereng-lerenglah yang mendewasakan.” Ketika dalam setiap pendakian puncak adalah sebuah kebanggan yang kita ingin dapatkan, terkadang usaha saja tidak cukup, tetapi ridho Tuhan juga berpengaruh. Dan sekarang saya tahu bagaimana rasanya tidak mendapatkan puncak, memang ada sedikit kecewa, namu saya merasa pengalaman setiap gunung memang lain-lain. dan Gamalama memiliki ceritanya sendiri dalam pengalaman saya..
15 September 2012, Gunung Gamalama meletus 3 kali malam itu, dan siang harinya 16 September meletus lagi menjadi berita nasional, dan saya masih bisa meminum kopi dan menyelesaikan tulisan ini di Jakarta sob, Subhanallah.
Terimakasih untuk Kang Riki Rambu Anarki dan teman-teman Mahasiswa Pecinta Alam Universitas Khairun Ternate (Mato, Badi, Opik dan semua yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu) atas segala keramahan bantuannya.
Menarik sekali mas pengalamannya. Bolehlah mas kita explore bareng mas 🙂
Selamat siang Kang Yui
Bisakah membantu saya, Yudi Sulistyo 53 th dr Bojonegoro yg berencana trip summit ke Gunung Gamalama. Butuh kawan lokal Ternate untuk mendaki. Berangkat dr Bojonegoro dg Istri tp Istri tdk ikut mendaki. Minta info jg kapan waktu terbaik untuk mencarinya. Terimakasih sebelumnya