Pernah mengamati ulat secara langsung? sebagian dari kalian mungkin akan merasa geli melihat hewan berbulu ini, apalagi sebagian ulat memiliki bulu yang bisa menyebabkan rasa gatal bila kita menyentuhnya. Ya, ketika menjadi ulat makhluk ini cenderung dianggap sebagai pengganggu manusia. Dalam jumlah banyak, binatang ini juga akan dianggap sebagai hama karena bisa merusak tanaman. Namun saat binatang ini telah bermetarforsis menjadi kupu-kupu, binatang ini akan menjadi makhluk yang indah.
Dari pelajaran biologi yang kita peroleh sewaktu di bangku sekolah, siklus metamorfosis dari ulat menjadi kupu-kupu adalah sebagai berikut :
ULAT – KEPOMPONG – KUPU-KUPU – kasian deh lu
Namun siklus ini nampaknya tidak berlaku untuk ulat jati di sebagian daerah di Indonesia, salah satunya adalah di Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta. Di sana, siklus metamorfosis ulat jati adalah sebagai berikut :
ULAT – KEPOMPONG – ULAT & KEPOMPONG GORENG
Ya, benar sekali. Bagi sebagian (besar) penduduk Gunungkidul, hidangan ulat dan ungkrung jati dapat dijadikan sebagai hidangan favorit yang menempati tempat tersendiri di hati para konsumennya. Ungkrung yang dimaksud di sini adalah bahasa jawa dari kepompong. Ulat jati memiliki warna hitam legam sedangkan ungkrung jati memiliki warna kecoklatan.
Namun sayang sekali, tidak mudah untuk mendapatkan makanan ini. Ulat jati hanya dapat ditemukan setaun sekali, tepatnya di awal musim penghujan. Ketika musimnya tiba, ulat jati ini dapat dengan mudah ditemukan di sekitar pohon jati (ya iyalah namanya juga ulat jati), atau menempel di daun-daun kering di sekitar pohon jati tersebut. Para penduduk lokal biasanya rame-rame mencari binatang ini baik untuk dikonsumsi sendiri maupun untuk dijual. Jangan salah, karena sifatnya yang langka, sedangkan peminatnya lumayan banyak, maka sesuai hukum ekonomi maka harganya pun melambung. Harga satu kilogram ulat dan ungkrung jati ini bisa lebih mahal dari harga satu kilogram daging sapi di pasaran.
Di luar penampakannya, makanan ini memiliki citarasa yang unik. Ulat jati lebih juicy jika dimakan, sedangkan ungkrung jati terasa lebih kriuk. Sebagian orang mungkin merasa jijik dan tidak berani untuk menyantapnya. Namun di kalangan penggemar makanan ini, mereka rela untuk blusukan dan bahkan berani membayar mahal untuk mendapatkan makanan ini. Ulat dan ungkrung jati ini harus dicuci dulu sampai bersih sebelum dimasak. Hidangan ini biasanya diolah hanya dengan bumbu bawang uyah (bawang dan garam yang dihaluskan) kemudian digoreng sampai matang. Bayangkan lezatnya ulat dan ungkrung jati yang dimakan dengan nasi putih hangat dan sambal segar, Nyam.. Nyam.. Nyam… Tapi hati-hati, bagi sebagian orang yang tidak cocok/memiliki alergi terhadap makanan ini mungkin bisa biduren (gatal-gatal) setelah mengkonsumsi makanan ini.
Konon kelezatan dari makanan ini digunakan untuk menggambarkan perasaan saat kita jatuh cinta. Pernah denger idiom “Butterfly in my tummy”? Ya, perasaan saat orang jatuh cinta digambarkan dengan adanya kupu-kupu yang berkeliaran di perut mereka. Hal ini mungkin diambil dari sensasi sesaat setelah kita mengkonsumsi ulat dan ungkrung jati, kelezatannya membuat kita merasa bahwa ulat dan ungkrung yang kita konsumsi tersebut akan bermetamorfosis menjadi kupu-kupu di perut kita, Butterfly in my tummy…. YEAH…
Jadi, apakah anda berani mencoba memakan Ulat dan Ungkrung Jati??
Widihhhhhh,,,, Gile bener nihh,,,
sumpah ane belum pernah coba beginian,
apa rasanya tuh ya, ? 😀
Dengan mengesampingkan penampakannya, rasanya enak kok bos. Kriuk kriuk gimana gitu, hehe
saya pernah mencoba..memang enak2 gurih..hehehe
saya pernah mencoba…rasanya memang gurih2 enak.hehehe